Monday, October 13, 2008

Words Never Neutral

Kata-kata (words) disini berarti bahasa, baik yang berupa ujaran maupun tulisan yang digunakan untuk mengekspresikan emosi dan pikiran seseorang. Kata-kata berfungsi sebagai pembawa arti atau makna. Disamping gambar, kata-kata selalu digunakan dalam pesan-pesan politik, ekonomi, sosial, agama, budaya dan sebagainya. Dengan kata-katalah pesan dapat disampaikan oleh si pemberi pesan (speaker dan writter) kepada si penerima pesan (listener dan reader). Bahkan kata-kata yang mengekspresikan emosi dan pikiran si pemberi pesan bisa diterima dan dipahami lain oleh si penerima pesan, tentunya karena pengaruh-pengaruh yang bersifat internal maupun eksternal. Pengaruh internal adalah pengalaman, emosi serta pikiran si penerima pesan itu sendiri.

"Our words are never neutral," kata Fiske (Media Matters: Everyday Culture and Political Change, 1994). Pernyataan itu terkesan menebar prasangka, tetapi begitulah adanya. Kata-kata tidak pernah netral. Lihatlah kata-kata yang disampaikan melalui media audio maupun visual. Ketika seseorang akan menjual produknya mereka selalu menyampaikan bahwa produk itu untuk kebaikan konsumennya. Ketika seseorang berkampanye untuk memperoleh dukungan agar dia berhasil menduduki posisi politik tertentu, mereka tentu akan menyampaikan dukungan itu untuk kepentingan mereka. Kata-kata itu tidak pernah netral karena dia akan dirancang untuk memihak orang yang mengeluarkan kata-kata.

Pernyataan Fiske hanya salah satu ungkapan tentang ketidaknetralan bahasa. Volosinov (1975) dan Bakhtin (1986) menyebut semua penggunaan bahasa bersifat ideologis, bahkan dilugaskan Kress & Hodge (1979) dalam buku Language as Ideology. Ideologi tidak sebatas will to power (Foucault, 1979), tetapi dalam pengertian umum, worldview, term of reference, juga interpretation frameworks. Memang benar bahwa penerima pernyataan harus cermat dalam memahami latar-belakang di balik bahasa itu sendiri. Bahkan si penerima kata-kata kadang terjebak dalam ketidakmampuannya untuk melakukan interpretasi netral kata-arti kata-kata yang diterimanya. Dia terkooptasi oleh kekuatan pengaruh ideologi si pemberi pesan.

Pendek kata, selalu ada kepentingan di balik kata-kata dan bahasa. Bagi ”linguis- sosialis” seperti Volosinov dan Bakhtin, kata-kata merupakan ranah perjuangan ideologis. Membongkar ideologi—termasuk kepentingan—yang tersembunyi dalam kata-kata (teks) merupakan fokus critical discourse analysis (CDA) sebagai pendekatan kontemporer analisis wacana lintas-ilmu. Bahkan saat ini terlihat ada gap yang signifikan antara kecanggihan teknologi informasi sebagai perantara kata-kata dengan penerima kata-kata. Sehingga dengan mudah pemberi kata-kata menyampaikan kata-kata melalui kecanggihan sarana teknologi informasi kepada penerima kata-kata yang memiliki latar belakang kurang memiliki kemampuan analisa kepentingan dalam kata-kata yang diterimanya.


Namun demikian kita bisa memberikan neutral point of view terhadap kata-kata. The neutral point of view is a point of view, not the absence or elimination of viewpoints. It is a point of view that is neutral - that is neither sympathetic nor in opposition to its subject. Benar bahwa agar tidak terjebak dalam kata-kata yang diterima, si penerima kata-kata harus mampu menjaga kenetralan sudut pandang, pikiran dan emosinya saat menerima kata-kata baik melalui media audio-visual dan saat membaca kata-kata dalam media tulisan. Dari kenetralan sudut pandang inilah, kata-kata akan cenderung bisa dipahami arti kata-kata yang sebenarnya, sehingga penerima kata-kata bisa menentulan tindakan dalam menanggapinya. (Pulung)

No comments: