Thursday, December 24, 2009

Hari Ibu & Sarip Tambak-Oso

Meski pemuda itu mati mengenaskan badannya tertembus peluru, tapi saat terdengar jeritan sang Ibu memanggilnya: "Sarip!...", maka bangkitlah pemuda itu dari kematiannya. Dia hidup lagi! Demikian walau berulangkali Sarip mati, setiap terdengar jeritan Ibunya memanggil namanya, dia akan hidup lagi. Seolah ketika jiwanya melayang, tiba-tiba tertarik dan kembali menyusup ke jasadnya saat terdengar jerit kasih sayang sang Ibu tercinta. Karena dia ingin segera menyongsong dan merengkuh Ibunya. Seorang Ibu yang membesarkannya dengan segala ketulusan tanpa batas.

Doa dan cinta kasih sang Ibu selalu berada dalam jiwa Sarip. Dialah satu-satunya orang tua Sarip setelah Bapaknya meninggal ketika dia masih kecil. Tertanam dalam ingatannya ketika Ibu menggendongnya ke pasar untuk menjual hasil kebun, menjolok jambu untuknya, dan mengusap ingusnya dengan ujung jariknya yang lusuh. Sang Ibu yang selalu menunggu Sarip tertidur pulas dan merapikan selimut sarungnya sebelum dia sendiri memejamkan matanya. Pagi hari sang Ibu selalu memetik sayuran segar di kebun belakang rumahnya sebelum Sarip bangun, dan berusaha menyajikan sarapan terbaik yang dia bisa dapatkan untuk anaknya. Semua itu dia lakukan demi cintanya kepada Sarip kecil sampai dewasa.

Tanpa bisa ditahan, Sarip sang pemuda dari dusun Tambak-Oso itu murka ketika dia mendengar bahwa Ibu tercintanya disiksa oleh Lurah Gedangan. Dia segera bergegas mencari Ibunya. Setelah tahu kondisi Ibunya yang tersiksa, dia langsung menghajar dan membunuh lurah Gedangan itu! Karena Sarip merasa sangat tidak rela Ibunya disiksa oleh Lurah Gedangan hanya karena Ibunya yang miskin terlambat membayar pajak. Pemuda itu sangat menyayangi Ibunya seperti demikian cinta sang Ibu kepadanya. Selama hidupnya dia mencurahkan segala hidupnya untuk kebahagiaan Ibu tercinta.

Namun sayang setelah lama dia menjadi buron, Sarip akhirnya tertangkap kompeni Belanda. Dia dipenjarakan. Kompeni itu meminta bantuan saudara Sarip untuk mengetahui rahasia kesaktian Sarip yang mampu hidup lagi. Akhirnya diketahui bahwa kesaktian Sarip itu terletak pada jeritan kasih sayang Ibunya. Dia akan tetap hidup dengan kasih-sayang Ibunya. Lalu, Ibunya ditangkap dan dibunuh terlebih dulu oleh kompeni Belanda. Sehingga ketika Sarip tertembus peluru kompeni, tiada lagi jeritan kasih sayang Ibunya yang memanggil namanya untuk bangkit dari matinya. Sarip pun mati menyusul Ibu tercintanya.

Di Hari Ibu, ketika kita membaca cerita-cerita dari negeri seberang tentang kasih-sayang Ibu yang menggugah hati, kita mungkin tak sadar bahwa di negeri inipun banyak cerita tentang cinta tulus sekaligus keperkasaan sang Ibu kita sendiri. Salah satunya seperti cerita rakyat (folklore) yang biasa dipentaskan dalam seni Ludruk ini. Jeritan kasih sayang sang Ibu yang mampu membangkitkan sang anak dari kematiannya. Sesungguhnya hikmah cerita ini ingin menggambarkan betapa kasih sayang sang Ibu mampu menembus batas-batas yang tak terbayangkan. Suara kasih sang Ibu mampu menerangi ruang-ruang kalbu dan "menghidupkan" anaknya. Jeritan kasih Ibu mampu didengar oleh jiwa-jiwa anaknya yang melayang tanpa batas. Dan doa Ibu diijabah. (Pulung Chahyono, www.pulung-online.blogspot.com)

Friday, December 18, 2009

Nyalakan Nasionalisme Tugu Lilin

Saat jalan santai pagi di sepanjang jalan Dr. Wahidin, Laweyan, Solo, saya tertarik membaca lebih dekat tulisan yang tertera di sisi barat Tugu Lilin di jalan pertigaan Penumping. "Tugu Kebangkitan Nasional, Peringatan Pergerakan Kebangsaan Indonesia, 25 Tahun, 20 Mei 1908-1933". Tugu itu bentuknya bulat panjang ke atas mirip lilin, seperti namanya Tugu Lilin yang dikenal masyarakat. Tugu dibangun tanggal 20 Mei 1933 untuk memperingati 25 tahun berdirinya pergerakan Boedi Oetomo. Sekaligus untuk membangkitkan semangat perjuangan nasional dan pengabdian kebangsaan. (Foto: Tugu Lilin, monumen sejarah kebangkitan nasional berlatar semburat keemasan sinar mentari pagi, medio Desember 2009).

Pergerakan Boedi Oetomo lahir dari hasil pertemuan dan diskusi yang sering dilakukan oleh para tokoh pemuda di Jakarta. Mereka memikirkan dan membahas nasib bangsa pribumi yang sangat buruk dan selalu dianggap bodoh dan tidak bermartabat oleh bangsa lain. Kemudian mereka mencari cara dan sarana untuk memperbaiki keadaan bangsa pribumi yang amat buruk dan diperlakukan tidak adil oleh penguasa kolonial. Sedangkan para birokrat (pamong praja) kebanyakan hanya memikirkan kepentingan sendiri dan jabatannya. Mereka justru mendukung pemerintah kolonial dengan menekan rakyat dan bangsa sendiri, dengan menarik pajak sebanyak-banyaknya untuk menyenangkan hati atasan dan para penguasa kolonial.

Seabad lalu benih nasionalisme itu telah ditaburkan oleh para tokoh pemuda. Mereka telah menyulut api nasionalisme. Sekali tersulut, pantang untuk padam! Untuk itu, mereka membangun organisasi pemuda Boedi Oetomo tepatnya 20 Mei 1908 dengan pendirinya Dr. Soetomo. Tanggal ini kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional di negeri ini. Sedangkan Tugu Lilin itu menjadi simbol menyalanya nasionalime dengan semangat persatuan dan kesatuan Nusantara. Konon, saat berkesempatan berkeliling Nusantara, KRMH Woerjaningrat, penggagas pendirian tugu ini, selalu mengambil sejumput tanah di setiap daerah yang dikunjungi. Setiap jumput tanah dari seluruh daerah Nusantara dikumpulkan dan diletakkan di dasar pondasi tugu.

Untuk meresmikan tugu monumental ini Dr. Soetomo datang dari Jakarta ke Solo di tahun 1933 dan saat meresmikan berucap, ''Van Solo begin de vyctory" (Dari Solo kemenangan dimulai). Memang terasa ada semangat kemenangan kebangkitan nasional pada monumen berketinggian sekitar 8 meter itu. Tugu ini berada di halaman depan Sekolah Teknologi Menengah (STM) "Murni" Surakarta, di bawah naungan Yayasan Perguruan Murni, yang didirikan tanggal 19 Desember 1915. Dilihat dari tahun yang tertera, pendirian sekolah lebih dulu dari tugu nasionalisme ini. Seperti ada pesan jelas bahwa nasionalisme harus mulai ditanam dan dipupuk di sekolah-sekolah. Nasionalisme harus tumbuh kuat agar generasi bangsa mampu memaknai nasionalisme secara utuh. Lihatlah tiada negara besar dan maju, yang semangat nasionalisme bangsanya lemah dan terpecah!

Senyatanya cita-cita para pejuang kebangkitan nasional itu belum berhasil penuh. Di negeri ini masih terasa ada pribumi dinomor-sekiankan atau bahkan ada pribumi yang merasa tidak setara dengan bangsa lain. Di sektor industri, dagang, administrasi pemerintahan, dan perbankan, masih terlihat bangsa lain dilayani berlebih atau bahkan dipertuankan. Sulit dipungkiri, ini sisa pengaruh budaya stratifikasi sosial yang dulu diciptakan penguasa kolonial di negeri ini: Golongan I orang barat asing, Golongan II orang timur asing, dan Golongan III pribumi. Waktu itu, juga diikuti perbedaan hak dan kewajiban; superioritas orang asing dan inferioritas pribumi. Bukankah itu di era kolonial? Benar, kini stratifikasi sosial itu telah enyah dari negeri ini, bahkan juga di seluruh dunia. Ayo bangkit! (Pulung Chahyono, www.pulung-online.blogspot.com)

Thursday, December 3, 2009

Mengapa Mereka Maju?

Kala itu saat pandangan dan pemikiran para ilmuwan Barat bertentangan dengan penguasa negeri dan dogma keyakinan, mereka lebih memilih keilmuan dan rela meninggalkan negeri dan keyakinannya. Mereka justru ingin semakin membuktikan bahwa pandangan dan pemikiran keilmuannya juga demi kebaikan dan kebenaran sebagaimana yang mereka yakini. Hasil pandangan dan pemikiran mereka itulah yang banyak memberikan sumbangan pada kemajuan berbagai disiplin ilmu dan teknologi pada jamannya yang sebagian besar berkembang hingga sekarang. Dengan demikian mereka menjadi maju dan unggul menguasai teknologi, ekonomi dan politik dunia kini. (Foto: Monumen astronomi, Madinah)

Mereka meninggalkan dogma keyakinan dan memilih ilmu pengetahuan, walau kadang mereka harus mati karena pilihannya itu. Socrates (470-399 SM) yang dikenal sebagai bapak dan sumber ilmu etika atau filsafat dituduh oleh penguasa merusak generasi muda karena metode berfilsafatnya. Socrates adalah guru dari Plato (427-347 SM) filsuf besar dalam sejarah manusia. Socrates dihukum mati melalui proses peradilan resmi penguasa, dengan cara meminum racun sesuai keputusan pengadilan. Masih beruntung Aristoteles (384-322 SM) seorang filsuf besar mampu lari dari negerinya menghindari naas seperti Socrates. Walau akhirnya ia harus wafat di tempat pelariannya. Ia menulis berbagai ilmu Fisika, Metafisika, Etika, Politik, Ilmu Kedokteran dan Ilmu Alam. Di bidang ilmu alam, dialah orang yang pertama mengumpulkan dan mengklasifikasikan spesies-spesies biologi secara sistematis.

Galileo Galilei (1564-1642 M) adalah astronom, filsuf, dan fisikawan yang berperan besar dalam revolusi ilmu. Dia memberi banyak sumbangan keilmuan dalam penyempurnaan teleskop, observasi astronomi, dan hukum gerak (dinamika). Selain itu, Galileo juga dikenal sebagai pendukung Copernicus mengenai konsep peredaran bumi mengelilingi matahari. Pemikirannya tentang matahari sebagai pusat tata surya bertentangan dengan keyakinan gereja waktu itu bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Akibatnya Galileo dianggap merusak iman dan diajukan ke pengadilan gereja. Ia dihukum dengan pengucilan dalam tahanan rumah sampai meninggal dunia.


Jika mereka lebih memilih meninggalkan dogma keyakinan mereka demi ilmu pengetahuan, kita justru kadang rela meninggalkan ajaran agama demi mengejar kemubaziran (kesia-siaan dan ketidak-manfaatan). Itulah yang menyebabkan kegagalan memberikan manfaat dalam kehidupan alam ini. Bukankah ruh kita telah disumpah untuk bersaksi bahwa Allah sebagai Tuhannya, sehingga tidak ada alasan untuk mengingkari ajaran-NYA yang memberikan amanah kita sebagai khalifah yang bermanfaat untuk rahmatan lil alamin. Inilah yang membuat mundurnya esensi kebaikan dan kebenaran, dan dengan demikian tidak pernah mendapatkan sebenarnya manfaat dan keunggulan dunia dan akherat.

Juga ditegaskan dalam buku "Mengapa Kaum Muslimin Mundur" karangan Al-Amir Syakib Arsalan bahwa salah satu sebab tertinggalnya umat Islam karena gagal menemukan hal yang bermanfaat. Dari Abu Hurairoh ra, dia berkata bahwa Rosululloh SAW pernah bersabda: "Sebagian tanda dari baiknya keislaman seseorang ialah ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya." (Diriwayatkan Tirmidzi dan lainnya). Padahal jaman Nabi dan sahabat, Islam telah begitu maju menguasai bagian dunia, termasuk daerah Romawi dan Persia. Dalam ilmu pengetahuan, Ibnu Sina (Avicenna) dikenal sebagai Bapak Kedokteran Dunia. Juga ilmuwan Islam Al Khawarizmi mampu mengembangkan ilmu Matematika seperti Aljabar dan Algoritma yang dikenal sampai kini. (Pulung Chahyono, www.pulung-online.blogspot.com)