Saturday, May 26, 2012

Busway, Satu Korbanpun Terlalu Banyak

Menjelang maghrib si Budi duduk di undakan teras sempit rumahnya di kampung pinggiran kota. Bocah bercelana pendek itu sendirian tanpa alas kaki. Setiap sore ia demikian menunggu ayah dan ibu tercinta pulang kerja. Ayah ibunya sejak pagi buta telah berangkat bekerja di sisi kota lainnya. Selalu si Budi segera beranjak riang dari duduknya saat mendengar suara mesin motor bapaknya pulang dari kejauhan. Sepertinya dia cukup hafal dengan suara motor tua ayahnya.

Rumah si Budi cukup sederhana. Seperti umumnya rumah pekerja kecil. Terlihat teras rumah belum selesai dibangun. Itu teras tambahan yang dibangun setelah rumahnya berdiri beberapa tahun lalu. Lantai terasnya pun masih terlihat baru ditimbun tanah, belum sempat diplester. Di undakan teras itulah si Budi duduk menunggu ayah ibunya pulang kerja. Siapa tahu sang ibu membawa oleh-oleh mainan mobil-mobil plastik untuk anak semata wayangnya.

Sore itu di depan Gedung Mewah Senayan terjadi tabrakan lalu-lintas. Sebuah sepeda motor yang dikendarai oleh laki-laki setengah baya dengan istri di boncengannya terpental setelah menabrak pinggiran pembatas jalur busway. Pemotor laki-laki terlempar ke dalam jalur busway. Bus yang berada di belakangnya tidak sempat mengerem dan ban bus melindasnya. Pemotor laki-laki tewas di tempat. Sedangkan ibunya terpental ke jalur lain dan mengalami patah kedua kakinya.


Pemotor laki-laki dan istrinya adalah ayah dan ibu tercinta si Budi. Orangtua tempat ia menggantungkan masa depannya. Namun hidup ayahnya telah direnggut oleh kecelakaan busway. Semua sanak-keluarga merana. Cidera kedua kaki ibunya juga merenggut pekerjaannya. Masa depan si Budipun terenggut oleh kecelakaan orangtuanya. Teras sempit rumahnya tak pasti kapan akan selesai dibuat. Rumah kecil di pinggiran kota itu kini hanya ditinggali si Budi dan ibunya yang terbaring di kamar sempitnya.


Terlihat di seberang jalan Gedung Mewah Senayan si Budi kecil kuyup menggigil, menahan dingin sambil menjajakan koran. Menjelang magrib hujan belum juga reda, si Budi murung menghitung laba untuk membeli makan malam ibunya. Selepas isya si Budi melangkah pulang. Anak sekecil itu harus berkelahi dengan beratnya kehidupan setelah kecelakaan orangtuanya. Dan si Budi selalu berharap bisa bertemu ayahnya esok hari di depan Gedung Mewah Senayan. (Cerita "Sore Depan Gedung Mewah Senayan", Pulung Chahyono,
www.pulung-online.blogspot.com, mitra_ulung@yahoo.com)

No comments: