Wednesday, November 9, 2016

Generasi Lima Kompor

Ini cerita dari pinggiran lingkungan kota kecil. Saya generasi yang lahir pertengahan 60-an telah mengalami lima generasi kompor sampai jaman sekarang ini. Generasi yang sempat merasakan peradaban perapian awal untuk mengolah makanan mentah menjadi makanan matang, atau yang lebih tepatnya disebut tungku api. Tentu saja sebagian ada yang langsung mengalami lompatan peradaban kompor ini. Terutama mereka yang tinggal di kota besar lebih maju, atau mereka yang memiliki penghidupan atau daerah lebih baik pada jamannya.


Tungku api menjadi cikal bakal diciptakannya kompor. Bahan bakarnya masih sama dengan perapian awal peradaban manusia, yaitu kayu. Tungku dibuat dari susunan batu atau bata merah, bentukan tanah liat atau semen untuk melindungi orang terkena api dan mengarahkan api untuk memasak. Konon, model tungku api telah ada 200-an tahun Sebelum Masehi. Dapur dengan tungku api selalu terpisah dari rumah induk atau tertutup sekat karena asapnya mengepul keluar. Tetangga pun jadi tahu jika sedang memasak. Ingat ungkapan, "orang harus kerja agar dapur bisa mengepul"? Ungkapan itu dimulai dari sini.


Dalam berjalannya waktu kompor minyak menganggantikan tungku api. Kompor minyak dengan berbagai bentuk dan merek difabrikasi dari bahan logam dengan sumbu kapiler atau tekanan udara untuk menyalurkan bahan bakar minyak ke mulut api. Peralihan peradaban kompor ini cukup lama sebelum awal tahun 1970-an. Bahkan ada waktu saling beriringan, dimana orang masih mempertahankan tungku api meski sudah memiliki kompor minyak tanah. Karena mendalamnya peradaban tungku air di masyarakat, mereka perlu waktu meninggalkannya.

Kompor gas sebagai generasi kompor ketiga muncul saat program koversi minyak tanah ke gas dari pemerintah sejak tahun 2007. Konversi ini berhasil berjalan baik. Meski awalnya banyak yang menyangsikan akan berhasil, konversi minyak tanah ke gas (LPG) menjadi fenomena penting perubahan peradaban perapian untuk memasak di Indonesia. Keberhasilan mengubah kebiasaan masyarakat yang turun termurun dari generasi ke generasi menggunakan minyak tanah beralih ke LPG bukan sekadar persoalan teknis, namun juga sarat dengan aspek sosial dan budaya.

Kompor listrik menjadi kompor generasi keempat. Terutama yang daerah memiliki pasokan listrik melimpah, kompor listrik sudah dipakai. Saya baru mengenal kompor listrik sejak 1996 ketika saya bekerja di suatu perusahaan dimana akomodasi karyawannya sudah memakai kompor listrik. Kemudian sekitar tahun 2014 akomodasi karyawan yang baru dilengkapi kompor induksi menggantikan kompor listrik. Kompor induksi menggunakan medan magnet untuk menghasilkan panas dimana wajan atau panci besi menjadi bagian sumber panasnya. (Pulung Chahyono, www.pulung-online.blogspot.com; mitra_ulung@yahoo.com)

No comments: