Friday, December 18, 2015

Budaya Macho & Persepsi Risiko

Kita tentu pernah melihat pemuda menggelak tunggangan motor dan mobil modifikasi balapnya berkecepatan tinggi dengan suara mesin meraung keras dan meliuk-liuk atraktif melintasi sela-sela kendaran di jalanan. Kita juga pernah memperhatikan pengemudi mobil travel penumpang mengemudikan mobilnya berkecepatan tinggi melaju jalan. Mereka menyerobot dari samping atau sela kendaraan dalam antrian di perlintasan ketera api atau perempatan saat lampu merah.


Tanpa menyadarinya, mereka telah menerima dan mengemban risiko keselamatan dirinya. Bagaimana mereka menerima risiko sejalan dengan tumbuhnya keyakinan kemampuan mengemudi kendaraannya yang semakin terampil, faktor motivasi dan kebutuhan gaya hidupnya, atau pengalaman-pengalaman yang dilalui sebelumnya. Bahkan karena iming-iming serta harapan mendapat sesuatu dan image yang lebih macho jika mereka dapat melakukan dengan lebih cepat dan terlihat berbeda di jalanan.

Senyatanya manusia melakoni keseharian risiko keselamatan dirinya dalam berbagai ruang kebiasaan dan budaya yang melingkupinya. Kebiasaan keluarganya, budaya masyarakatnya, kebiasaan tempat kerjanya dan tuntutannya, dan lebih luas lagi budaya sosial dan ekonominya. Secara individual mereka juga harus menjalani hidup dengan mengemban risiko profesinya. Mereka hidup sebagai pengemudi, karyawan, pedagang, guru, tukang kayu serta pekerjaan lainnya beserta semua dinamika profesionalnya.

Orang melihat dan memahami risiko dengan berbagai persepsi. Setiap orang bisa saja memahami risiko yang sama dengan persepi berbeda. Gaya dan kebiasaan hidup mempengaruhi pesepsi risiko keselamatan. Budaya mempengaruhi cara berpikir dan bertindak seseorang dalam melakoni kehidupannya. Lebih luas kebiasaan dan budaya mempengaruhi kelompok orang dan masyarakat. Bahkan dalam diri pribadi dan organisai usaha tumbuh budaya ”macho” untuk melakukan pendekaan dan tindakan agresif demi sesuatu yang lebih.

Mereka yang melakukan tindakan-tindakan dengan persepsi risiko yang berbeda bahwa kebiasaan, pengalaman, ketrampilan dan gaya hidup mereka akan secara otomatis dapat melindungi mereka dari risiko keselamatannya, secara fisik dan psikisnya. Persepsi mereka itu mengabaikan potensi risikonya. Persepsi risiko keselamatannya menguat seiring dengan tindakan kesehariannya sehingga menimbulkan komplasensi, suatu kepuasan dan kepercayaan diri yang berlebih. (Pulung Chahyono, www.pulung-online.com, mitra_ulung@yahoo.com)

No comments: