Saturday, August 11, 2012

Tradisi Me-one-man-show-kan Pemimpin

Konon di negeri antah-berantah, masalah demi masalah timbul silih-berganti sejak kemerdekaannya. Negeri dinamis, istilah positifnya. Masalah satu belum benar-benar tuntas, masalah lain menyeruak mengalihkan perhatian penduduk negeri. Mengalihkan perhatian beneran, bukan tuduhan. Dan para elit, pemuka, pengamat, atau petualang negeri penuh semangat secara sendiri-sendiri maupun tanggung-renteng mengomentari dan berwacana menuju pemimpin mereka.

Ketika komentar dan wacana sampai pada tingkat yang memungkinkan, mereka berusaha mengemukakan pemimpin harus turun tangan menengahi. Jangan diam saja! Mengapa tidak peduli? Kurang tegas! Kenapa dia lepas tangan? Dia ingin bermain aman! Kemudian berusaha menjatuhkan pemimpin yang mereka pilih sendiri dalam pesta demokrasi. Seperti itu seakan jadi biasa dan tidak masalah di negeri yang baru mengenyam era kebebasan. Lebih lagi mereka mencipta kelompok dan asosiasi untuk memunculkan aksi presuritas kepada pemimpin demi popularitas.

Mereka mungkin menaruh harapan yang terlalu besar terhadap pemimpin. Namun kadang juga terkesan ada kekecewaan atas kakalahannya menempatkan tokoh pilihan dari kelompok-kelompoknya. Mereka kecewa karena mereka tidak mendapatkan porsi yang diharapkan untuk mendudukan elit dan pemuka mereka. Mereka rasa kurang mendapatkan porsi perlakuan dan perolehan yang ditafsirkan sendiri dari sesuatu yang mereka sebut sebagai kontrak politik yang justru aneh, atau demi sedekar menunjukkan posisi oposisinya.


Harapan besar atau alasan lain terlihat dengan me-one-man-show-kan pemimpin menangani seluruh masalah negeri. Bahkan tidak segan agar ada tanggapan, diwacanakan seolah segala masalah bersumber dari kelemahan dan imbas kebijakan pemimpinnya. Masih tidak masalah. Yang disayangkan kalau diwacanakan itu hanya untuk mencari popularitas personal, kelompok atau politis. Kalau benar demikian mereka yang berhasil dan populer karena rekayasa wacana itu, ia jusru harus berterima kasih kepada pemimpinnya.


Memang ada kapasitasnya pemimpin harus menyelesaikan masalah. Namun me-one-man-show-kan pemimpin menangani segala masalah akan menjadikan mereka hanya sebagai obyek masalah. Pemangku masalah yang sebenarnya tidak pernah belajar menyelesaikan masalahnya. Lembaga dan institusi yang seharusnya menjadi tempat penyelesai malah tidak pernah dilibatkan. Penyelesaian masalah tak pernah menyentuh akar dan sumber masalah. Akhirnya mereka tidak pernah belajar apa-apa tentang menyelesaikan masalah negeri, selain hiruk-pikuk. Dan negeri antah-berantah selalu krisis calon pemimpin. (Pulung Chahyono, www.pulung-online.blogspot.com, mitra_ulung@yahoo.com)

No comments: