Thursday, May 26, 2011

Segendong, Sepikul

Jaman purba para laki-laki yang berburu binatang liar untuk makanan, dan para perempuannya hanya menunggu di gua. Kalau pas ndak semangat berburu atau lagi sepi binatang buruan, waktu pulang mereka bisa saja tidak membawa hasil binatang buruan satu pun. Dan para perempuan akan bertanya "Mana hasil buruannya?", dijawab laki-laki "Lagi sepi tidak ada buruan". Padahal mereka mungkin sedang malas dan hanya tiduran seharian di bawah pohon. Bisa saja mereka sedang tidak enak badan, jadi tidak berburu binatang. Manusia purba juga manusia!

Justru disinilah para perempuan menjadi tertantang kreatifitasnya. Kalau tidak, mereka akan kaliren,  tidak ada yang dimakan, termasuk anak-anak mereka. Para perempuan mulai belajar bercocok tanam umbi-umbian untuk persediaan makanan. Karena mungkin saja para laki-laki cukup sering pulang tidak berhasil membawa binatang buruan. Dan biasanya tidak ada kesulitan memberi alasan. Juga sewaktu dapat buruan banyak, para perempuannya punya ide membuat dendeng daging agar bisa awet untuk persediaan makanan di hari-hari berikutnya.

Saat dapat binatang buruan dan pulang ke gua, para laki-laki disambut oleh para perempuan yang sedang menunggunya. Apalagi kalau binatang buruannya besar, kerbau misalnya, wah mereka pasti disambut dengan suka-cita. Setelah binatang buruannya dibetheti dengan peralatan batu tajam, kemudian dagingnya dibakar. Mereka berpesta menikmati hasil buruannya. Tentunya, para laki-laki akan mendapatkan jatah lebih dan makan daging yang lebih banyak dari kaum perempuannya. Karena mungkin lapar dan tenaganya terkuras sehabis berlarian berburu binatang.

Pembagian jatah yang lebih besar bagi laki-laki, dibanding dengan perempuan, sangat mungkin berawal dari jaman purba ini. Memang akan wajar demikian. Para laki-laki telah mengeluarkan banyak tenaga ketika melakukan perburuan binatang. Bahkan kalau lagi apes bisa saja mereka cidera atau bahkan mati karena tersundang atau terinjak binatang buruan. Sehingga para laki-laki mendapatkan daging lebih banyak dari para perempuan. Paling tidak, dengan jatahnya yang lebih banyak bisa memulihkan tenaganya kembali agar bisa melakukan perburuan binatang pada hari berikutnya, untuk kehidupan mereka.

Beberapa dasa warsa lalu, dalam masyarakat tradisional, praktek jatah laki-laki lebih banyak dari perempuan masih umum. Termasuk dalam hal harta warisan, dengan istilah segendong, sepikul. Ibaratnya, kalau perempuan mendapatk satu bakul yang digendong, sedang laki-lakinya mendapat dua bakul yang dipikul di kanan-kirinya. Satu banding dua. Itu dulu! Kini sudah tidak berlaku, tepatnya sejak persamaan hak laki-laki dan perempuan dijalani oleh masyarakat paska-tradisional. Laki-laki dan perempuan sama, punya hak yang sama di semua hal. Kini, jika sedikit sama-sama segendong, banyak sama-sama sepikul. (Pulung Chahyono, http://www.pulung-online.blogspot.com/, mitra_ulung@yahoo.com)

No comments: