Thursday, October 1, 2009

Jangan Sedih Karena Miskin

Jangan bersedih kalau harta anda sedikit atau keadaan anda memprihatinkan, sebab nilai diri adalah sesuatu yang berbeda (La Tahzan, Dr. ‘Aidh al-Qarni). Jangan terjebak dalam rasa sedih, terpuruk, dan suramnya hati karena miskin harta-benda. Terimalah setiap pemberian Gusti Allah dengan hati ikhlas dan syukur, niscaya kita menjadi manusia yang paling kaya. Karena keikhlasan hati dan selalu bersyukur dalam kondisi demikian bisa menumbuhkan rasa tenteram dalam hidup. Demikian inilah disebut hati yang kaya. Nilai diri tidak diukur dengan harta-benda yang dimilikinya!

Secara leksikal denotatif miskin adalah tidak berharta, serba kekurangan, dan berpenghasilan rendah. Orang disebut miskin jika dalam keadaan kurang makanan, pakaian seadanya, tidak bertempat-tinggal layak, tidak mampu bersekolah, serta kualitas hidupnya rendah. Orang umumnya cenderung memahami miskin secara materialistis, komparatif dan subyektif. Memang, miskin sering diartikan dari sudut pandang ekonomi dan sosial! Sehingga setiap daerah dan negara akhirnya akan berbeda ketika membuat ukuran kemiskinan. Bank Dunia pun mengelompokkan kemiskinan menjadi dua jenis dengan miskin absolut, dan miskin relatif karena ketegori miskin itu terpengaruh oleh waktu dan tempat.

Miskin sebagai definisi di atas bisa juga karena pilihan! Ya, pilihan karena budaya dan pemahaman hidup. Misal, sebagian suku Badui Arab lebih menyukai hidup di tenda (beit alsha'r) berpindah-pindah dengan unta dan domba ternaknya di padang pasir luas Arab, walau Raja Arab membangunkan rumah permanen. Sebagian suku di Papua, lebih menikmati hidup di rumah adat (honai) di pedalaman, meski Pemerintah Daerah memukimkan mereka di pinggir jalan dan kota. Seorang Siddhartha Gautama memilih hidup sebagai pertapa di hutan daripada gelimang kekayaan di kerajaan. Juga sebagian orang Jawa yang berprinsip urip sak madya, ora usah ngoyo, nrimo ing pandum, yang artinya hidup tidak harus berlimpah dan bergelimang harta.

Jika demikian, kenapa kemiskinan harus dipahami sebagai ketidak-mampuan dan hal yang memprihatinkan? Justru banyak orang yang dikategorikan berada di dalam "tirani" definisi miskin di dunia ini merasakan damai, tenang dan bahagia hidupnya. Bahkan dengan itu mereka menjadi lebih leluasa dan yakin bisa mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, serta menjelajahi sejuknya keyakinan ruhaninya. Mereka demikian lebih bisa mengamalkan perbuatan baik dan bijaksana dalam kesederhanaan lingkungannya. Mereka lebih mampu menjernihkan pikiran dan menjauhkan diri dari keserakahan dunia.

Kalau toh material menjadi pertimbangan sumber definisi, sebenarnya hidup ini bagai roda berputar. Banyak orang miskin lalu menjadi kaya dan sebaliknya dalam sekejap tanpa bisa ditahan dan ditolaknya. "Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya. Dan apa saja yang Allah tahan, maka tidak seorang pun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (Q.S. Faathir [35]: 2). Seluruh rejeki hamba berada di tangan Gusti Allah dan Dia telah mengatur semua itu dengan segala kebijaksanaan-NYA. (Pulung Chahyono, http://www.pulung-online.blogspot.com/, mitra_ulung@yahoo.com)

No comments: