Tuesday, June 2, 2009

Equality Before the Law

Tahun 1903 dua orang imigran muda tiba di negara Inggris. Keduanya melarikan diri dari kota Alexandria, Mesir karena mereka merasa di negara Inggris akan mendapatkan kebebasan. Tidak hanya kebebasan dari keluarganya yang tidak menyetujui pernikahan mereka, tetapi kebebasan berdasarkan hukum dari semua bentuk diskriminasi. Mereka percaya bahwa negara Inggris adalah suatu negara yang memperlakukan semua orang dengan sama, tanpa melihat warna kulit, ras, agama dan jenis kelamin. Kedua orang tersebut adalah kakek dan nenek yang menurunkan ibu saya. Demikian awal pidato Lord Phillips, Hakim Agung, England and Wales, di East London Muslim Centre, dengan judul "Equality Before the Law" tanggal 3 Juli 2008.

Di beberapa negara, pembuat hukum dan penegak hukum di tangan yang sama. Di negara Inggris kekuasaan untuk keduanya dipisahkan. Parlemen membuat hukum. Pemerintah mengelola negara sesuai ketentuan hukum. Dan jika ada individu atau pejabat negara diduga melanggar hukum maka hakim yang memutuskan apakah benar hukum telah dilanggar, menetapkan sanksi dan tindakan perbaikan. Hakim di negara ini diangkat oleh Independent Appointment Committee. Mereka melakukan tugas sesuai sumpah. Mereka memperlakukan setiap orang sama. Hakim tidak terpengaruh oleh harapan pemerintah, dan tidak ada pejabat yang berani mempengaruhi hakim dalam memutuskan perkara. Setiap hakim independen secara individual, dan Hakim Agung pun tidak bisa mengarahkan hakim lain dalam memutuskan perkara.

Hukum di negeri Inggris dibuat berdasarkan nilai-nilai universal toleransi, keterbukaan, persamaan dan saling menghargai. Setiap orang yang datang ke hadapan hukum di negara ini akan menerima perlakuan yang sama dalam penerapan hukum. Hakim akan memperlakukan semua pihak yang berperkara dengan cara yang sama. Tugas hakim adalah menerapkan hukum, tanpa mempertimbangkan apakah dia setuju atau tidak dengan hukum tersebut. Justru di negara ini, pertanyaannya sudah bukan lagi "Apakah hakim memperlakukan setiap orang sama?", tetapi "Apakah hukum memperlakukan setiap orang sama?". Memang hukum cenderung merefleksikan motif, keinginan, keyakinan, perilaku dan prasangka atau kurangnya prasangka dari pihak pembuat hukum. Demikian juga Parlemen cenderung menetapkan hukum yang mencerminkan perilaku dan keinginan mayoritas.

Dalam hal agama, di negara Inggris setiap orang bebas menunaikan ibadah agamanya. Terdapat sekitar 1,6 juta umat Muslim hidup di negara Inggris. Mereka menjadi bagian penting dan bernilai dalam masyarakat Britania. Mereka terwakili dengan baik dalam kelompok masyarakat, diantaranya melalui Muslim Council of Britain. Mereka memiliki tujuan membangun hubungan masyarakat yang lebih baik dan bekerja demi kebaikan bersama dalam kesatuan masyarakat. Juga di London Muslim Center ini mereka bertujuan membangun hubungan antar agama dan kohesi masyarakat, salah satunya. Di negara Inggris sudah ada 3 Bank Islam yang disetujui Financial Services Authority untuk melakukan usaha berdasarkan hukum Syariah. Sejumlah sukuk juga telah dijual di Bursa Saham London. Bahkan bulan Mei 2008 di negara Inggris ada perusahaan asuransi Islam atau “takaful” provider yang mulai beroperasi dan ini adalah pertama di benua Eropa.

Tulisan ini saya cuplik dari teks pidato Lord Phillips, Hakim Agung, England and Wales, yang aslinya 10 halaman. Saya menemukan teks pidato ini saat saya berselancar di dunia internet
www.judiciary.gov.uk. Banyak makna yang bisa dipetik, terutama bagi negara penganut model pemerintahan negara demokrasi "trias politica" dimana kekuasaan dibagi menjadi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Masing-masing kekuasaan ini dipisahkan dan independen di bidang tanggungjawabnya masing-masing. Terutama lembaga yudikatif adalah benar-benar independen untuk melindungi hak dan kebebasan setiap warga negara. Setiap orang sama dimuka hukum! Sampai disini, cobalah tengok sistem peradilan di Indonesia. (Pulung)

1 comment:

pulung said...

Kita masih mendengar para pakar dan politis di media menyampaikan bahwa di negara ini peradilan kita masih "tebang pilih" dalam menangani kasus hukum. Juga masih terasa bahwa orang atau badan yang memiliki uang banyak, pejabat, para papan atas di negeri ini masih bisa mempengaruhi peradilan. Ini terbukti dengan ditangkap dan diadilinya para pejabat peradilan itu sendiri yang tersandung masalah karena menerima sesuatu dari pihak yang berperkara.