
Melalui dialog panjang penuh emosi antara adik dan kakak, antara raja dan begawan, akhirnya Kumbakarna bersedia menjadi panglima perang negara Alengka. Namun sang Begawan menyatakan kesediaannya ini tidak lain karena kecintaannya kepada negaranya. Kumbakarna pun akhirnya gugur bersama semangat patriotismenya membela negara Alengka yang terus digempur Pasukan Rama. Kumbakarna gugur bukan karena membela kakaknya Rahwana yang menculik Dewi Shinta, tetapi karena kecintaannya terhadap tanah tumpah darahnya. Dewa-dewi pun turun ke bumi menyambut arwah sang patriot ini dan menghantarkannya ke Swargaloka. Ini adalah kisah patriotis yang melegenda dalam kisah Ramayana.
Patriotisme ibaratnya tidak terpengaruh apakah pemimpin negaranya benar atau salah. "Right or wrong is my country". Patriotisme adalah kecintaan, kesetiaan, dan kebanggaan seseorang terhadap bangsa dan negaranya. Seorang patriot sejati akan menyatakan bahwa keutuhan bangsa dan negaranya adalah "harga mati". Ini tidak bisa ditawar! Patriotisme berasal dari kata "patriot" dan "isme" yang berarti jiwa atau semangat kepahlawanan. Seorang patriot memiliki sikap berani dan rela berkorban demi bangsa dan negara, sebagai martir pembela tanah air. Pengorbanan harta-benda dan jiwa-raga, segalanya.
Sepanjang masa perang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, para patriot pahlawan negeri ini juga telah rela mengorbankan jiwa dan raganya demi cintanya pada tanah air. Patriotisme mereka menembus batas-batas kedaerahan, adat-istiadat, pandangan serta keyakinan. Para patriot ini terbakar rasa cintanya pada negeri dan rela berkorban demi terbebasnya negeri dari cengkeraman kolonial. Meski hanya berbekal bambu runcing, mereka berani menyongsong ganasnya mesiu dan dentuman meriam. Mereka rela berjuang, bergerilya, berjalan dari dusun ke dusun, dari hutan ke hutan berbulan-bulan. Demi negeri tercinta!
"Manakala suatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan." (Wikiquote: Soekarno, Pidato di BPUPKI, 1 Juni 1945). Kini patriotisme tidak harus dimaknai dengan darah dan perang semata. Patriotisme juga bisa diejawantahkan melalui perjuangan intelektual dan diplomasi. Bahkan di era maju ini makna patriotisme semakin berkembang dan bisa diartikan sebagai kerelaan dan kesetiaan terhadap kedermawanan dan kemanusiaan; memberi amal bantuan, mengkritisi ketidakadilan, keberanian menyelamatkan orang lain, menolak kesewenang-wenangan, dan semangat membangun negerinya, bisa diartikan sebagai tindakan "patriotis". Perang adalah jalan terakhir, Bung! (Pulung)