Thursday, February 5, 2009

Stereotype atau Kenyataan?

Pernahkan anda dulu melihat Ludruk yang mempertontonkan suatu adegan di atas genjot sebuah keluarga kaya duduk berbincang di kursi ruang tamu dan seorang pembantu duduk di lantai melayani mereka? Baju pembantu tersebut adalah baju lurik, daster atau kebaya batik? Memakai celana kethok bumbung, kemben atau jarik? Laki-laki memakai blankon atau udeng?

Gambaran umum pembantu ini ada sejak jaman kolonial Belanda dimana sering diperagakan di adegan Ludruk. Memang seni pertunjukan Ludruk sudah ada sejak jaman itu. Waktu itu siapa lagi yang jadi pembantu rumah-tangga keluarga Belanda di Nusantara selain "inlander"? Saya ingat cerita Lundruk yang pernah saya lihat waktu kecil judulnya "Sogol Pendekar Sumur Gumuling". Ketika beberapa tentara Belanda bersenjata api laras panjang sedang mencari-cari Sogol ke kampung-kampung, bertanya ke orang kampung: “Hei, kowe inlander apa pernah ketemu ekstrimis Sogol di sekitar sini?” Trus yang ditanya menjawab: “Tidak Menir” sambil merunduk dan berlalu. “God Verdomme!” bentak tentara Belanda. Nglantur!

Dan ketika teknologi tontonan elektronik audio-visual sudah berkembang seperti sekarang, TV misalnya, gambaran pembantu rumah tangga tersebut masih saja ditayangkan. Dalam adegan sinetron atau acara humor misalnya, pembantu dilakonkan dengan dandanan atau logat bicara Jawa. Akhirnya apa? Banyak kenyataan sekarang orang kaya lebih cenderung mencari pembantu orang Jawa. Dan seringkali karena alasan nggak ada kesempatan bekerja lain, orang Jawa pun mungkin merasa sreg jadi pembantu bahkan sampai ke luar negeri, walau kadang tidak dibayar, disiksa, dituduh mencuri dan kemudian dihukum.

Sekarang jadilah stereotype pembantu itu adalah orang Jawa. Menurut arti kamus Merriam Webster, stereotype berarti sesuatu hal yang menjadi pola umum; lebih khusus berupa gambaran mental yang secara umum dimiliki oleh sebagian anggota kelompok dan mewakili suatu pendapat yang terlalu cethek, perilaku "ngerti sak durunge winarah" (merasa tahu sebelum mendapatkan informasi yang memadai) atau keputusan yang tidak kritis. Mungkin ada pertanyaan selanjutnya "Siapa yang berhasil menciptakan stereotype atau kenyataan ini?" Ludruk, TV, penonton, PJTKI, otoritas terkait atau orang Jawa sendiri? Blunder!

Sungguh ini bukan bermaksud untuk memancing keresahan atau ketidakpuasan rasial, namun lebih untuk melakukan introspeksi personal inlander. Secara umum bagi inlander yang menjadi pembantu di negerinya sendiri. Beberapa waktu lalu dalam suatu kesempatan santai saya sempat ngobrol ngalor-ngidul lama dengan dosen saya dulu waktu kuliah, Pak Gunarso, dan sempat menyinggung sedikit masalah pembentukan stereotype ini. (Pulung)

2 comments:

Anonymous said...

Dilema pak Pulung, di satu sisi, keberadaan para pembantu di kesenian tradisional tidak bisa dilepaskan, sepertinya itu salah satu penarik cerita, entah sebagai bumbu atau mungkin malah sebagai peran utama. Seperti punakawan dalam cerita wayang, walaupun mereka sepertinya hanya penyedap saja, namun kemunculannya ditunggu-tunggu. Tapi disisi lain; dampak yang dihasilkan juga luar biasa, seperti pak Pulung bilang, terbentuknya Stereotype di kalangan tertentu. Pada akhirnya, mungkin kembali ke kita masing-masing, apakah mau kita menjadi pembantu?

pulung said...

Mas Yus, trims ya telah mampir dan posting komentar ke blog ini. Saya juga telah mampir ke yuscomic. Wah semakin mantap situs, design dan isinya. Seperti yang saya sampaikan nanti saya diberi info2 ya, siapa tahu nanti bisa sedikit ketularan mantap situs dan graphic art-nya. Dan atas info awal dari Mas Ihsan, ini saya bisa porting dengan opera mini, praktis dan cepat.