Thursday, August 29, 2013

Krisik Blitar, Desa Mirip Swiss

Di masa kolonial Belanda, tahun 1862 seorang barrister berkebangsaan Inggris kelahiran Singapura, William Barrington D’Almeida beserta istrinya mengunjungi Blitar dalam rangkaian perjalanannya di Pulau Jawa. Dia menuliskan pengalamannya di Blitar di halaman 298 dalam bukunya Life in Java: with Sketches of Javanese, Vol. I, diawali dengan "Blitar is less than half a day's journey from Kedirie, and is a delightful excursion for those who care for beauty of scenery". William menempuh perjalanan selama kurang setengah hari dari Kediri menuju Blitar dan ini merupakan perjalanannya yang menyenangkan karena keindahan alamnya. (Foto: Desa Krisik, Blitar)

Diceritakan dalam bukunya dia berangkat menuju Blitar dari Kediri dengan menaiki kereta yang ditarik kuda. Selama di Kediri setelah menyeberangi sungai Brantes (Brantas) dengan perahu, William bertemu Residen Kediri yang waktu itu membawahi wilayah termasuk Blitar, dan juga sempat mengunjungi Salomanglain (Gua Selomangleng). Sesampai di Blitar, William terkesan dengan keindahan lingkungan alamnya. "The neighborhood is lovely, and the view of Kloet and Kresi forms quite a superb panorama". Bahkan dia menggambarkan dengan kosa-kata superlatif pemandangan gunung Kelud dan Krisik benar-benar membentuk super panorama.

Dari kotapraja Blitar, William melakukan perjalanan ke Penataran yang dia ceritakan berjarak sembilan paals (ukuran jarak batas desa). Di Penataran, dia melihat terdapat banyak makam raja-raja terdahulu yang dia katakan bernilai untuk dikunjungi. "From here it is but nine paals further to Panatharan, where are to be seen many tombs of old kings and chiefs ". Kedatangan William ini adalah 47 tahun setelah Candi Penataran ditemukan kembali oleh Sir Thomas Stamford Raffles tahun 1815, Gubernur Jenderal pemerintah kolonial Inggris yang pernah berkuasa di Nusantara. Kemudian candi Penataran mengalami pemugaran tahun 1917-1918.


Berjarak sekitar tiga paals dari Penataran, William mengunjungi sebuah Telaga. Dekat pinggiran telaga terdapat reruntuhan candi. Disinilah wilayah Krisik (Kresi), sebuah desa yang disebut William mirip Swiss yang dikelilingi pegunungan, seperti dia tuliskan "at Tologo, tree paals distant from Panatharan, there is a Swiss-looking village surrounded by Mountains, with the ruins of an ancient temple close to the margin of a small lake". Telaga ini berada di petilasan candi Rambut Monte, tempat pemujaan agama Hindu jaman Kerajaan Majapahit. Kini reruntuhan candi hanya tersisa Kamadathu (kaki candi), Rupadathu (badan candi), artefak Lingga Yoni, dan patung kepala Kala anak dewa Siwa. (Foto: Telaga Rambut Monte, Krisik, Blitar).

Desa Krisik, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar berjarak + 30 km dengan waktu tempuh sekitar 30 menit dari pusat kota Blitar. Secara umum topografi dan kontur desa Krisik berupa perbukitan, perkebunan dan persawahan dengan kisaran ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Suhu rata-rata 17- 20 derajat Celsius. Bisa dibayangkan desa Krisik Blitar memanjakan pengunjung dan penghuninya dengan keindahan gunung Kelud dan lembah perbukitan hijau, hamparan sawah nan subur, perkebunan yang sejuk, telaga nan jernih, petilasan candi yang bernilai sejarah, dan suhu udara nan sejuk. (Buku Life in Java bisa diunduh dari Google Book; Pulung Chahyono, www.pulung-online.blogspot.com, mitra_ulung@yahoo.com)

No comments: