
Cerita kali Lahar seakan sulit dipisahkan dengan cerita gunung Kelud dan letusan laharnya. Seperti cerita gunung Kelud yang memuntahkan lahar panas, awan panas, pasir dan debu vulkanik di tahun-tahun lalu, kali Lahar pun juga menjadi cerita turun-temurun. Termasuk cerita kecemasan warga masyarakat yang tinggal di sekitar bantaran kali jika gunung Kelud meletus. Seperti beberapa waktu yang lalu dinyatakan ada peningkatan aktifitas gunung Kelud, para warga sekitar bantaran kali Lahar menjadi orang yang paling mewaspadai dan diwaspadai keselamatannya. Mereka masuk dalam daftar orang yang akan dievakuasi jika lahar benar terjadi. Kewaspadaan letusan gunung Kelud tentunya juga diperhitungkan dan disampaikan kepada semua warga Blitar pada umumnya.
Saya pernah dengar cerita cukup menegangkan tentang kali Lahar. Dan cerita menegangkan ini biasanya berulang saat obrolan-obrolan panjang warga ketika gunung Kelud diberitakan akan meletus. Walau kadang letusan tidak benar terjadi kemudian, atau hanya issue insidentil antar warga masyarakat. Kadang hanya karena cuaca sangat panas orang akan bilang: "Wah sumuk puanas, jangan-jangan gunung Kelud akan meletus." Mungkin saja, karena mereka belajar dari pengalaman letusan sebelumnya. Diceritakan bahwa letusan gunung Kelud tahun 1951 dan 1966 telah memakan banyak korban jiwa terutama di sekitar bantaran kali Lahar. Korban manusia itu bergeletakan atau bahkan tersangkut pepohonan di sepanjang pinggiran kali Lahar. Konon juga banyak korban ditemukan di daerah luberan lahar dari kali Lahar.
Sembilan belas tahun lalu, tahun 1990, saya menyaksikan ganasnya letusan gunung Kelud. Akibat letusannya, berjuta-juta meter kubik pasir dihamburkan dari kawahnya ke langit, melayang dan jatuh menutupi tebal atap-atap rumah, halaman dan jalan sampai radius puluhan kilometer. Pasir memang tidak lepas dari setiap letusannya. Dari dalam kawah gunung Kelud, pasir juga terus terbawa air ke sepanjang sungai. Banyak warga sekitar bantaran kali Lahar bermata pencaharian sebagai pencari pasir untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan anaknya. Mereka membawa cikrak bambu dan menyelam sejenak ke dasar sungai, dan ketika muncul ke permukaan cikrak mereka telah penuh pasir. Dan pasir dari cikrak demi cikrak mereka kumpulkan di gundukan pasir pinggir kali. Para lalu-lalang di atas jembatan kali Lahar Pakunden dulu bisa dilihat sebagian kegiatan warga yang mencari pasir ini.
Bersama teman-teman sekolah dasar saya dulu kadang ke kali Lahar untuk mandi dan ciblon saat terasa gerah di musim panas. Selepas pulang dari SDN 1 Blitar berjalan lurus ke arah Timur, ke Blitar Pojok kita menyebutnya. Kemudian menuruni lereng sungai dan mandi di aliran kali atau di belik, sumber air kecil di pinggir sungai. Masih bening sekali air kali Lahar waktu itu. Karena beningnya biasanya kita mengumpulkan batu berwarna dan berbentuk bagus dari dasar sungai. Juga menangkap kroco, sejenis siput kecil yang terlihat jelas saat merambat di dasar sungai. Mencari ikan dengan newu dan gogo, cara sederhana menangkap ikan dengan tangan. Biasanya dapat ikan cethol, cengor atau wader kecil, atau ikan kecil berwarna-warni. Kemudian ikan-ikan ini dimasukkan ke kantung plastik bekas diisi air untuk dibawa pulang, dan kemudian dipelihara di bak air jamban di rumah. Itu dulu! (Pulung Chahyono, www.pulung-online.blogspot.com; mitra_ulung@yahoo.com)