Dua minggu lalu saya hadir dalam acara silaturahmi keluarga besar di kampung. Seperti biasa di tengah acara ada ceramah pitutur dari seseorang yang dianggap mumpuni ilmu agamanya di kampung. Dia pemuka agama sekelas kampung. Mungkin tidak begitu dikenal di kampung lain. Kebaikan makna isi ceramahnya menjadi utamanya, bukan kepopuleran penceramahnya. Acara cukup santai. Sesekali diselingi guyon dari penceramah. Rupanya dia cukup paham guyonan aktual di kampung itu. (Foto: Stand pameran Blitar Jadul)
Disela ceramah sedikit membahas mengenai tembang Jawa Sluku-Sluku Bathok. Kata syair tembang yang dibahas utamanya tentang "Yen Urip Goleko Duwit". Dia yakinkan ini perlu dipahami dengan baik maknanya agar bisa diterapkan dalam keseharian untuk menjalani kehidupan lahir batin. Di jaman ini manusia hidup dituntut untuk mencari uang untuk menafkahi keluarganya. Sejak usia kecil, secara langsung atau tidak langsung, orangtua telah menyiapkan anak-anaknya agar kelak mampu berdikari mencari nafkah.
Menyekolahkan anak pun disamping mendidik anak memiliki mental spiritual bagus, juga dituntut menyerap pelajaran guna diterapkan dalam dunia kerja sebagai karyawan (pegawai negeri atau swasta), tenaga professional (pilot, dokter, pengacara, dsb), pewiraswasta (pengusaha, pedagang, penyedia jasa, dsb) atau investor. Teringat kelompok cashflow quadrant-nya Robert Kiyosaki. Mereka akan golek duwit untuk menafkahi keluarga dan mendukung pendidikan keturunannya. Terus bergulir tanggungjawab mencari nafkah demikian ke keturunannya.
Dalam tembang Sluku-sluku Bathok jika manusia tidak golek duwit berarti dia tidak urip. Tidak urip itu berarti mati sehingga tidak bisa mencari duwit lagi. Malah jika orang yang mati itu obah, dia justru medeni bocah. Tentu saja anak-anak pasti takut jika melihat orang mati bergerak, apalagi berjalan. Dalam ceramah kampung sederhana ini pesannya mudah dipahami maknanya bahwa manusia hidup harus mencari uang untuk menafkahi keluarganya. Nafkah yang berkah. Kalau tidak, sinismenya berarti dia mati.
Banyak versi pembahasan makna tembang Sluku-Sluku Bathok yang konon dikarang sejak jaman Wali Songo. Ada juga yang membahas bahwa tembang ini berasal dari bahasa Arab asli yang digubah oleh Sunan Giri kedalam bahasa Jawa. Juga ada dibahas makna konotatif filosifis yang tersirat dalam setiap frasa syairnya. Pun ada yang membahas syairnya dalam makna denotatif yang nyata dari setiap katanya. Kesamaan dari semua versi pembahasan maknanya adalah tembang ini memuat pitutur bagus. (Pulung Cahyono, www.pulung-online.blogspot.com, mitra_ulung@yahoo.com)
-
No comments:
Post a Comment