Penderitaan dan trauma yang ditinggalkan dari berbagai bencana alam dari ujung ke ujung negeri ini masih lekat terasa. Masih jelas dalam ingatan, tsunami di Aceh, gempa bumi di Padang Sumatra Barat, Tanah Longsor di Palopo Sulawesi Selatan, Banjir Bandang di Wasior Papua, Gempa dan Gunung Merapi meletus di Yogyakarta, serta tragedi bencana memilukan lainnya. Bencana alam itu merenggut ribuan jiwa, beribu keluarga kehilangan tempat tinggal, ribuan hektar tanah garapan musnah, dan beribu kehilangan lainnya.
Sebagian bencana alam murni gejala alam. Namun sebagian lainnya by-product kehidupan manusia yang mengganggu keharmonisan alam. Benar, kita bisa berlatih dan bersiaga untuk mempersiapkan diri menghadapi ganasnya bencana alam. Juga mampu melatih kecepatan menyelamatkan diri dan menolong korban bencana alam. Namun kita tidak pernah akan mampu mencegah terjadinya bencana alam, meski dengan segala kecanggihan teknologi maupun kecerdasan berpikir manusia.
Segera setelah bencana menyisakan korban dan kehancuran. Masyarakat secara pribadi dan bersama melakukan inisiatif dan tindakan terbaik membantu meringankan penderitaan korban. Di kamp pengungsian para dermawan silih-berganti menyumbang apapun yang bisa mereka berikan. Para sukarelawan menyiapkan tenda, saluran air bersih, memasak, menyiapkan generator listrik dan yang terbaik lainnya. Konon karena bencana air bah di New Orleans, kota-kota Texas konservatif yang berpenduduk hanya berkulit putih, membuka tangan dan hati mereka menerima pengungsi negro Amerika yang miskin. Mereka sungguh menjadi lebih toleran.
Namun saat lain ketika kondisi kehidupan normal kadang perselisihan justru terjadi antar warga. Masalah kecil diperbesar. Orang yang bisa memberi sumbangan terbaik saat bencana alam, berubah jadi tidak peduli, gampang tersinggung, individualis dan tendensius terhadap pihak lain. Bahkan membuat bencana diantara mereka sendiri. Mereka menjadi tidak sensitif terhadap penderitaan orang lain, dan mengabaikan perbuatan baik yang mereka bisa berikan kepada pihak lain. Mereka kadang justru menjadi tega terhadap penderitaan orang lain, seperti bentrok dan pertikaian antar warga di berbagai pelosok negeri ini. Mereka kehilangan rasa tolerannya.
Ternyata bencana alam memberikan kesempatan unik dan berharga kepada kita. Ini tentu saja tidak berarti kita berharap adanya penderitaan lagi akibat bencana. Memang bencana alam membawa kehancuran dan kepedihan pada korbannya, namun juga memberikan semangat kepada orang lain untuk berbuat sesuatu kebaikan. Saat dimana mereka menjadi berbuat sesuatu lebih dari yang biasa mereka lakukan. Setelah bencana bersemangat dan berupaya menjadikan kehidupan membaik kembali dan bahkan menjadi lebih baik. Mungkin kita perlu bencana sesekali? (Pulung Chahyono, www.pulung-online.blogspot.com, mitra_ulung@yahoo.com)
-
2 comments:
Sudut pandang Anda benar tapi cara Anda menyampaikan kurang hati2, saya khawatir pembaca awam akan terjerumus ke pemikiran yg salah. Ingatkah satu contoh ketika Allah memberikan ujian yg amat berat kepada salah seorang Nabi-Nya karena dia merasa plg sabar dan "meminta" ujian yg berat. Jgn sampai kita berdoa yg salah.
Terima kasih atas komennya yang lebih menjelaskan. Saya tambahkan bahwa judul tulisan ini sebagai kalimat retoris dimaksudkan untuk menggugah kesadaran agar berhenti saling tertikai terus saat keadaan justru mendukung merubah kehidupan lebih baik. Sedang isinya, kalau boleh diibaratkan dalam bahasa Jawa disebut "ngelu-elu"… Seperti anak kecil yang banyak bermain mengabaikan belajarnya, orang tuanya kadang ngelu-elu ke dia "ya sudah bermain saja seharian" untuk justru menyadarkannya. Semoga negeri ini terhindar dari bencana dan penduduknya selalu aman, damai dan makmur.
Post a Comment