Wah, buntutnya jadi teringat masa lalu. Lho kok? Tepat di depan rumah saya dulu ada pohon asam besar dan rimbun. Kalau ada hujan yang tidak terlalu deras, orang akan berhenti dan berteduh di bawah pohon asam ini. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan setelah hujan reda. Juga demikian saat musim panas, kadang orang berhenti sejenak ngiyup di bawah pohon. Sesekali terdengar suara "plok", buah asam matang jatuh ke tanah. Asam banyak berserakan di bawah pohonnya. Saya biasa luru dan makan buah asam matang begitu saja setelah dibuka kulitnya. Rasanya asam-asam manis. Buah asam menggelembung, bengkok atau lurus. Bijinya bisa bergandeng sekitar 6 gelembung. Asam matang kulitnya keras berwarna kecoklatan.
Konon pepohonan asam telah ditanam di pinggir jalan-jalan Blitar sejak jaman kolonial Belanda, juga di daerah-daerah lain Nusantara ini. Diceritakan oleh Ayah saya bahwa sampai awal 1950-an, di sepanjang pinggir selatan jalan Merdeka Blitar masih berjajar pohon-pohon asam. Iya, di jalan Merdeka itu, di jantung kota Blitar yang kini penuh pertokoan! Diceritakan juga petugas kebersihan selalu rutin menyapu membersihkan sepanjang jalan di pagi dan sore hari. Oh, kota lama yang terkelola dengan baik, dan bisa dibayangkan betapa teduh dan indahnya kota Blitar waktu itu! Inilah mungkin secuil keindahan yang pernah disaksikan oleh William Barrington D'Almeida dan dituangkan dalam bukunya "Life in Java: with sketches of the Javanese, volume I" diterbitkan Hurst and Blackett, London 1864. Di halaman 298, Barrington menulis Blitar adalah tempat tamasya yang sangat menyenangkan bagi pengagum keindahan alam. Lingkungannya yang ramah dengan pemandangan Gunung Kelut menjadikan "superb panorama". Barrington juga menggambarkan Blitar yang menyebut sebuah kampungnya mirip Swiss (Mencari Secuil Swiss di Blitar, http://blitarkita.com/).
Terakhir sampai awal 1980-an, saya masih menyaksikan sisa-sisa pohon Asam Jawa terlihat berdiri di sebagian jalan-jalan di dalam dan luar kota Blitar. Biasanya pohon bagian bawahnya dicat putih melingkari batangnya, dan di pinggir atas dan bawah cat putih diberi garis cat hitam. Agar para lalu-lalang bisa lebih jelas melihat pohon asam dan mewaspadainya di pinggir jalan. Kalau kita dulu berada di pertigaan Cepaka, kemudian menghadap ke Barat, Utara atau Timur, jajaran rimbun pohon asam ini jelas terilihat di pinggir-pinggir jalan. Bayangan teduh pohon asam ini menutupi permukaan aspal jalan. Kini pohon-pohon asam ini masih tersisa di sebagian kecil pinggiran Blitar.
Dengan batang pohon kokoh, daun kecil menyirip rimbun dan selalu hijau, pohon asam tak hanya mampu memperindah dan membuat suasana kota teduh. Sebuah penelitian tentang tanaman-tanaman kota menunjukkan bahwa pohon asam menjadi tanaman terbaik karena kemampuannya menyerap polutan terbanyak, khususnya Pb (timbal) yang dihasilkan dari asap kendaraan. Juga kayu pohon asam bisa untuk mebel, kayu bangunan, kerajinan, ukir-ukiran dan patung. Lebih dari itu, tidak perlu negeri ini mengimpor buah asam dari negera lain, malah bisa menjadi negeri pengekspor Asam Jawa. Wajar khan? (Pulung Chahyono; www.pulung-online.blogspot.com)