Monday, April 13, 2009

Hamemayu Hayuning Bawono

Seiring banyaknya petaka dan bencana alam yang terjadi di negeri ini dan juga isu global warming, pedoman hidup leluhur kita ini kian terasa semakin relevan. Kita sering dikejutkan dengan terjadinya tanah longsor, banjir bandang, sungai meluap, kekeringan, kebakaran hutan dan lainnya. Setiap musim seolah membawa petaka! Dan ini selalu menimbulkan kerugian harta-benda dan juga korban jiwa yang tiada terkira. Bahkan apalagi setelah itu? Manusia sibuk dengan pendapat dan respons yang penuh dengan kepentingan bias dan segmental. Terus saja alam ditelantarkan merana, meradang, tanpa pernah ada yang peduli.

Secara literal Hamemayu Hayuning Bawono berarti menjaga bumi tetap indah (hayu) dan makmur (rahayu). Secara kontekstual adalah sikap dan perilaku manusia yang selalu mengutamakan keseimbangan dan keserasian antar sesama manusia maupun dengan alam. Hamemayu Hayuning Bawono juga mengandung makna pesan spiritual agar manusia selalu memelihara, melindungi, menjaga keseimbangan serta kelestarian alam, dan secara implisit dalam kata hamemayu bahwa manusia tetap bisa memanfaatkan alam dan berinteraksi aktif dengannya tanpa harus mengorbankan alam itu sendiri.

Pedoman hidup ini selalu ditanamkan oleh leluhur ke anak-cucunya. Para orangtua leluhur mengajari menanam tumbuhan bermanfaat di pagar dan batas tegalan bukan tembok tinggi, memelihara tanaman sayuran di pekarangan bukan mengecornya dengan semen, menanam pohon kayu "taun" keras tidak menebang dan menjual habis ke penggergajian kayu, menjaga sungai tidak membuntunya dengan sampah, menyapu jalan depan rumah di pagi buta agar bersih dan nyaman bagi pengguna jalan, dan "mengeramatkan" (untuk menjaga) sumur dan sumber air bukan mengotori dan mengeringkan sumber kehidupan ini. Mungkin ini terdengar aneh sekarang.

Ketika manusia senantiasa menjaga keseimbangan alam dan memelihara lingkungannya, maka alam dan lingkungannya pun akan menjadi tetap indah dan lestari. Alam yang indah dan lestari akan memberikan keselamatan serta kemakmuran bagi penghuninya karena alam akan memberikan yang terbaiknya. Manusia akan hidup tenteram, tidur dan bagun dalam kenyamanan, mendapatkan air bening, makanan dan buah-buahan yang segar berlimpah, membangun keluarga dalam keteduhan, membesarkan anak keturunan dengan selamat, serta berhubungan dengan manusia lainnya dalam kedamaian.

Falsafah hidup leluhur Hamemayu Hayuning Bawono bermakna spiritual tinggi dan sarat dengan pesan keharmonisan manusia dan alam, sebagaimana juga dalam ajaran agama dan budaya yang luhur. Jika ini terwujud, tiada lagi petaka dan bencana. Semua petaka dan bencana alam tidak pernah akan menyentuh kehidupan manusia. Sungguh, alam yang indah dan seimbang inilah yang senantiasa wajib dipelihara dan dijaga manusia. Kalau tidak? Alam sendirilah yang akan memaksa menyeimbangkan dirinya yang seringkali lebih menyengsarakan manusia itu sendiri! (Pulung)

Wednesday, April 8, 2009

Oleh-oleh Khas Blitar

Jajanan wajik klethik telah cukup dikenal di Blitar. Untuk oleh-oleh orang dulu langsung membeli di rumah pembuat awalnya di desa Gebang, masuk gang +10 meter dari perempatan kecil selatan Kebon Rojo, Kota Blitar. Di rumah ini terdapat etalase kaca yang memajang wajik klethik dan jajanan lain seperti dodol kacang ijo, ampyang dan sebagainya. Kemudian jajanan khas tradisional ini juga dipajang di Wartel utara rumah pembuatnya. Kini wajik klethik juga ada di toko kue perempatan timur alun-alun Kota Blitar, toko swalayan Mustika, depot makan Es Mini, Stasiun dan lainnya.

Rasa wajik ini manis legit dan butiran ketannya terasa “klethik-klethik” waktu dikunyah. Mungkin inilah yang menjadi alasan kenapa wajik ini dinamakan wajik klethik. Cara pembuatan wajik klethik tidak berbeda dengan wajik yang diproduksi di daerah lain. Bahan dasarnya adalah ketan, gula jawa, kelapa parut, dan untuk pengharum rasanya bisa digunakan jahe, vanilla, daun pandan atau lainnya. Semua bahan wajik dicampur, direbus dan diaduk sampai matang. Adonan wajik yang telah matang lalu didinginkan, dipotong dan dibungkus.

Kekhasan Wajik Klethik Blitar ini lebih lengkapnya adalah Wajik Klethik Bungkus Klobot. Potongan wajik memiliki panjang +6 cm, lebar +3 cm dan tebalnya +2 cm. Selanjutnya wajik dibungkus dengan klobot (bungkus buah jagung) yang telah dibersihkan dan dirapikan sedemikian rupa sehingga berwarna krem cerah. Setiap bungkusan wajik diberi merek pembuat, dijahit dengan benang, dan direnteng dengan bungkusan wajik lainnya. Bungkus klobotnya kemudian dirapikan bagian pinggirnya. Satu renteng berisi lima bungkusan wajik klethik.

Oleh-oleh biasanya diberikan oleh seseorang setelah melakukan perjalanan kepada sanak keluarga, teman sekerja, tetangga, rekan usaha, teman sekelas, atau orang yang memiliki hubungan sosial lainnya. Oleh-oleh diberikan karena memiliki ciri khas daerah tertentu, memiliki keunikan, daya-tarik, kualitas bahan yang baik, harga relatif terjangkau serta mudah dibawa. Oleh-oleh bisa berupa hasil bumi, produk makanan, hasil pabrikan, atau kerajinan tangan khas daerah.

Sebenarnya bukan masalah berapa mahal oleh-oleh yang kita berikan, namun lebih banyak makna dibalik oleh-oleh tersebut. Oleh-oleh bisa menunjukkan bahwa kita masih memikirkan mereka saat kita sedang di tempat jauh. Oleh-oleh merupakan wujud bahwa kita ingin memberikan sesuatu yang bisa dikenang. Juga, oleh-oleh adalah sebagai tanda kasih kepada orang yang diberi. Atau bisa saja sebagai rasa bangga bahwa kita berasal dari daerah yang memiliki kreasi oleh-oleh khas. Memang ada makna yang begitu luas dan indah tersimpan dalam pemberian oleh-oleh, termasuk yang lebih utama adalah mempererat jalinan tali ukhuwah kita. (Pulung)

Thursday, April 2, 2009

Dust in the Wind

Mendengar lagu-lagu kenangan bisa membuat suasana hati tenang dan terhibur. Sambil telinga mendengar, hati menelusuri ruang-ruang kenangan masa lalu yang membangkitkan gairah hidup dan menyejukkan. Bahkan kadang jiwa mengembara jauh memahami syair yang didendangkan. Lagu kenangan digandrungi sepanjang masa disamping musiknya juga isi syairnya yang seringkali bermuatan cinta, kasih sayang, kemesraan, indahnya alam, perjuangan hidup, keceriaan, dan lainnya.

Pesan-pesan spiritual universal seringkali juga didendangkan lewat lagu. Lihatlah lagu "Dust in the Wind". Lagu ciptaan Kerry Livgren ini dinyanyikan pertama kali tahun 1977 oleh sebuah kelompok musik rock progresif "Kansas" Amerika. Di awal tahun 1978, lagu ini menjadi salah satu lagu top hit di sana. Selanjutnya lagu ini mendunia dan dinyanyikan oleh kelompok-kelompok musik terkenal lainnya. Lagu bermelodi slow rock dengan lirik melankolis ini sepertinya telah menjadi lagu kenangan sepanjang masa, sampai kini.

Sekilas terjemahan bebas rangkuman lirik syairnya "Kita semua hanyalah seperti debu yang berterbangan di udara, seperti setetes air di lautan luas tak bertepi. Tiada sesuatupun yang kekal. Tidak bisa ditolak, semuanya pasti akan hancur kembali ke tanah. Dust in the wind, all we are is dust in the wind 3X".

Memang manusia ibarat hanya debu yang bertebaran di bumi. Bahkan bumi inipun ternyata berukuran kecil dibanding planet lain di dalam tata surya (solar system). Tata surya ini juga terlihat kecil terletak di tepi tata bintang Bima Sakti (galaxy of Milky Way). Tata bintang inipun hanya seperti spiral kecil di antara kelompok galaksi (group of galaxy). Kelompok galaksi ini hanya salah satu bagian dalam gugusan galaksi (megaparsec). Dan gugusan galaksi ini merupakan satu dari sekian gugusan galaksi yang ada di dalam gugusan super (superclustter) yang ada di jagad raya yang tiada bertepi. Sungguh besar jagad raya ciptaan-NYA.

Juga tiada sesuatupun yang kekal. Manusia ibarat hanya mampir ngombe (hanya sebentar hidupnya) di bumi ini. Manusia pasti akan mati, jasadnya akan hancur kembali ke tanah. Ruh manusia akan kembali ke hadirat penciptanya, Sang Sangkan-Paraning Dumadi, Gusti Allah. "Dan bahwa kepada Tuhanmu (akhirnya) kau kembali" (Q.S. An Najm [43]: 14). Ini tidak bisa dihindari, ditangguhkan atau ditolak jika waktu yang telah ditentukan-NYA tiba. (Pulung)