Wednesday, February 18, 2009

Perempatan Kawi

Nama perempatan Kawi diambil dari sebuah Gedung Bioskop Kawi yang dulu pernah berdiri di sebelah barat perempatan, utara jalan. Sekitar dua puluh tujuh tahun yang lalu saya pernah merasakan ramainya perempatan Kawi. Toko-toko disekitar perempatan ini selalu ramai dikunjungi pembeli. Memang perempatan inilah jalur pertemuan jalan dua arah dari utara, selatan, timur dan barat kota Blitar. Hampir semua angkutan umum lewat perempatan ini untuk keluar atau masuk kota Blitar.

Di timur perempatan adalah SMPN2 tempat sekolah saya di awal 80-an yang cukup mampu membuat perempatan sibuk pada jam berangkat dan pulang sekolah sampai sekarang. Di sebelah selatan perempatan, ada studio photo. Dulu banyak masyarakat umum maupun pelajar ke studio photo ini jika ingin afdruk photo, membuat pas photo dan photo keluarga. Di sebelah timur perempatan terdapat pertokoan yang cukup lengkap dan utara perempatan ada toko-toko emas yang cukup terkenal dan ramai pembeli.

Namun kini jalan perempatan Kawi tidak seramai dulu. Tidak ada lagi gedung Bioskop Kawi dan beberapa toko disekitarnya tutup, tidak berjualan lagi. Beberapa pengamen dan peminta-minta yang rajin "menghiasi" perempatan Kawi. Awas dampak kriminalnya! Beberapa tahun lalu ada kasus pembunuhan di salah satu rumah utara perempatan Kawi. Juga di tempat-tempat tertentu, ketika saya melewatinya kelihatan lebih sepi atau, paling tidak, masih sama seperti dulu. Lihat saja, jalan Merdeka, pertigaan Cepaka, perempatan Lovi sepertinya semakin sepi. Bukankah ramai dan sepinya suatu tempat bisa menjadi salah satu tolok ukur tingkat pertumbuhan ekonomi?

Di sisi lain, Pasar Templek yang dulu sepi sekarang menjadi berjejal tidak teratur terutama di waktu pagi, dan kumuh. Memang di sisi lain telah bermunculan tempat-tempat baru yang semakin ramai di dalam maupun di luar batas kota Blitar.

Rencana strategis dan tata kota Blitar dari waktu ke waktu perlu selalu dikajiulang dan disesuaikan dengan perkembangan terkini kota dan sekitarnya. Ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan, merevitalisasi, merelokasi dan memodifikasi tempat-tempat yang mulai lengang ketinggalan ataupun yang mulai ramai tidak teratur. Misalnya dengan mempertimbangkan adanya terminal transit baru untuk angkutan umum di beberapa tempat, pasar sekunder baru, sarana pendidikan baru, monumen kebanggaan baru, kantor pelayanan publik disebar, pembinaan usaha publik, promosi dan lebih membuka diri untuk investor luar, dan banyak lainnya. (Pulung)

Thursday, February 5, 2009

Stereotype atau Kenyataan?

Pernahkan anda dulu melihat Ludruk yang mempertontonkan suatu adegan di atas genjot sebuah keluarga kaya duduk berbincang di kursi ruang tamu dan seorang pembantu duduk di lantai melayani mereka? Baju pembantu tersebut adalah baju lurik, daster atau kebaya batik? Memakai celana kethok bumbung, kemben atau jarik? Laki-laki memakai blankon atau udeng?

Gambaran umum pembantu ini ada sejak jaman kolonial Belanda dimana sering diperagakan di adegan Ludruk. Memang seni pertunjukan Ludruk sudah ada sejak jaman itu. Waktu itu siapa lagi yang jadi pembantu rumah-tangga keluarga Belanda di Nusantara selain "inlander"? Saya ingat cerita Lundruk yang pernah saya lihat waktu kecil judulnya "Sogol Pendekar Sumur Gumuling". Ketika beberapa tentara Belanda bersenjata api laras panjang sedang mencari-cari Sogol ke kampung-kampung, bertanya ke orang kampung: “Hei, kowe inlander apa pernah ketemu ekstrimis Sogol di sekitar sini?” Trus yang ditanya menjawab: “Tidak Menir” sambil merunduk dan berlalu. “God Verdomme!” bentak tentara Belanda. Nglantur!

Dan ketika teknologi tontonan elektronik audio-visual sudah berkembang seperti sekarang, TV misalnya, gambaran pembantu rumah tangga tersebut masih saja ditayangkan. Dalam adegan sinetron atau acara humor misalnya, pembantu dilakonkan dengan dandanan atau logat bicara Jawa. Akhirnya apa? Banyak kenyataan sekarang orang kaya lebih cenderung mencari pembantu orang Jawa. Dan seringkali karena alasan nggak ada kesempatan bekerja lain, orang Jawa pun mungkin merasa sreg jadi pembantu bahkan sampai ke luar negeri, walau kadang tidak dibayar, disiksa, dituduh mencuri dan kemudian dihukum.

Sekarang jadilah stereotype pembantu itu adalah orang Jawa. Menurut arti kamus Merriam Webster, stereotype berarti sesuatu hal yang menjadi pola umum; lebih khusus berupa gambaran mental yang secara umum dimiliki oleh sebagian anggota kelompok dan mewakili suatu pendapat yang terlalu cethek, perilaku "ngerti sak durunge winarah" (merasa tahu sebelum mendapatkan informasi yang memadai) atau keputusan yang tidak kritis. Mungkin ada pertanyaan selanjutnya "Siapa yang berhasil menciptakan stereotype atau kenyataan ini?" Ludruk, TV, penonton, PJTKI, otoritas terkait atau orang Jawa sendiri? Blunder!

Sungguh ini bukan bermaksud untuk memancing keresahan atau ketidakpuasan rasial, namun lebih untuk melakukan introspeksi personal inlander. Secara umum bagi inlander yang menjadi pembantu di negerinya sendiri. Beberapa waktu lalu dalam suatu kesempatan santai saya sempat ngobrol ngalor-ngidul lama dengan dosen saya dulu waktu kuliah, Pak Gunarso, dan sempat menyinggung sedikit masalah pembentukan stereotype ini. (Pulung)